Opini-Teropongbarat.com||Kita semua pasti sudah hafal bahwa pemerintah Indonesia selalu menjanjikan transparansi. Setiap pejabat, dari pusat sampai daerah, tak pernah bosan menyebut kata “akuntabilitas” di podium. Tapi mari kita refleksikan ini dengan realitas yang terjadi, seberapa sering janji itu benar-benar terasa nyata bagi rakyat? Kenyataannya, transparansi masih jadi pekerjaan rumah abadi atau PR yang entah kapan mau benar-benar diselesaikan oleh pemerintah.
Contoh paling sederhana terlihat dari kebijakan yang sering kali lahir secara prematur atau tiba-tiba. RUU disahkan tengah malam tanpa banyak perdebatan terbuka, proyek raksasa digarap dengan alasan “kepentingan nasional” tapi tanpa penjelasan detail soal siapa sebenarnya yang diuntungkan. Lalu ketika publik protes, jawabannya mereka sangat sangat klise: “Semua sudah sesuai prosedur.” Prosedur yang mana dan prosedur macam apa kalau rakyat tidak pernah diajak bicara?
Ironinya, pemerintah suka pamer bahwa mereka sudah “transparan” karena punya website resmi, akun media sosial, atau konferensi pers rutin. Pertanyaannya, transparan buat siapa? Informasi yang disajikan sering kali hanya setengah-setengah, bahasa yang teknis, bahkan kadang sekadar formalitas. Transparansi bukan sekadar menumpuk data di portal online. Transparansi sejati itu harus membuka ruang diskusi, menerima kritik, dan memberi kesempatan publik ikut mengawal kebijakan sejak awal.
Masalah lain yang lebih serius adalah soal akuntabilitas. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kenyataannya sering lebih sibuk “setor laporan” ke elit politik, sponsor, atau kelompok kepentingan tertentu. Jadi, wajar kalau banyak kebijakan terasa jauh dari kebutuhan masyarakat. Rakyat akhirnya cuma jadi penonton, sementara panggung utama dikuasai oleh segelintir orang.
Padahal, di atas kertas Indonesia punya modal hukum yang lumayan kuat. Ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang bisa jadi senjata rakyat untuk meminta data dan mengawasi pemerintah. Sayangnya, banyak badan publik masih alergi dengan kata “keterbukaan”. Permintaan informasi dipersulit, birokrasi dibuat berbelit, bahkan ada yang sengaja tidak merespons. Transparansi dianggap beban, bukan kewajiban.
Kalau begini terus, jangan salahkan rakyat kalau lebih percaya pada rumor atau informasi liar di media sosial ketimbang keterangan resmi pemerintah. Ketertutupan justru jadi bensin bagi ketidakpercayaan. Dan begitu kepercayaan runtuh, yang muncul adalah gelombang protes. Jalan raya jadi ruang parlemen rakyat, karena ruang formal sudah terlalu sempit untuk menampung suara kritis.
Lalu apa solusinya? Pertama, pemerintah harus sadar bahwa transparansi bukan sekadar “laporan kinerja tahunan” atau postingan infografis di Instagram. Transparansi harus jadi budaya, cara kerja, bahkan cara berpolitik. Kedua, lembaga pengawas harus diperkuat, biar kontrol tidak hanya berhenti di lingkaran birokrasi. Ketiga, rakyat juga harus terus belajar memanfaatkan hak atas informasi, bukan hanya marah-marah di jalanan, tapi juga bisa menekan pemerintah lewat jalur hukum dan regulasi yang ada.
Transparansi memang seperti PR abadi, tapi bukan berarti mustahil dituntaskan. Kalau pemerintah serius, keterbukaan bisa jadi jalan pintas untuk memperkuat legitimasi, membangun kepercayaan, dan meredam ketidakpuasan publik. Tapi kalau transparansi terus diperlakukan sekadar jargon kampanye, jangan heran kalau jarak antara rakyat dan pemerintah makin lebar. Dan ketika itu terjadi, demokrasi kita hanya akan jadi panggung penuh janji tanpa kejujuran, tanpa akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT























