Subulussalam, teropongbarat.co — Di tengah meningkatnya dinamika sosial di wilayah pedesaan, Kepala Mukim Binanga tampil sebagai figur penegak adat yang memadukan kebijaksanaan, musyawarah mufakat, dan toleransi hukum adat. Dengan berlandaskan Qanun Kemukiman Binanga, ia menegakkan nilai-nilai hukum adat yang hidup dan dihormati masyarakat sebagai panduan moral dan sosial (10 Oktober).
Qanun tersebut menjadi payung adat lokal yang mengatur kehidupan masyarakat Binanga — mulai dari tata cara musyawarah, penyelesaian sengketa, hingga penerapan sanksi adat secara adil dan berimbang. Melalui qanun inilah, Kepala Mukim bersama perangkat adat menjaga harmoni antarkampung, serta menjembatani masyarakat dengan pemerintahan formal di tingkat kecamatan dan Muspika Runding.
“Qanun ini bukan sekadar aturan, tapi pedoman hidup bersama. Setiap keputusan diambil dengan musyawarah dan semangat memulihkan, bukan menghukum,” ujar Tamrin, Kepala Mukim Binanga, dalam satu sidang adat di Kantor Camat Runding.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bersama para kepala kampung, Camat Runding, dan unsur Muspika, Kepala Mukim Binanga secara konsisten mengedepankan penyelesaian masalah melalui forum musyawarah adat. Setiap pihak yang bersengketa diberi ruang bicara, disaksikan tetua adat dan tokoh agama, sehingga keputusan akhir bukan hanya sah secara adat, tetapi juga diterima dengan hati lapang oleh semua pihak.
Camat Runding memberi apresiasi tinggi terhadap pelaksanaan Qanun Kemukiman Binanga tersebut.
“Kepala Mukim Binanga menunjukkan bahwa hukum adat bukan penghalang kemajuan, tetapi benteng moral masyarakat. Cara beliau memimpin menjadi contoh nyata sinergi antara adat dan pemerintahan,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan restoratif berbasis Qanun Kemukiman ini terbukti mampu meredam potensi konflik — baik dalam urusan warisan, sengketa lahan, maupun pelanggaran norma sosial. Sanksi adat yang diterapkan, mulai dari permintaan maaf terbuka hingga ganti rugi simbolis, selalu dilandasi asas kearifan, keadilan, dan kedamaian.
Kini, masyarakat melihat Kepala Mukim Binanga bukan sekadar pejabat adat, melainkan penjaga tatanan sosial dan spiritual yang berakar dari Qanun Kemukiman. Ia menjadi cermin bagaimana hukum adat dapat berjalan seiring dengan hukum negara — memulihkan, bukan memecah; mendamaikan, bukan menghakimi.
Keistimewaan Aceh salah satunya terletak pada keberadaan sistem pemerintahan kemukiman yang menjadi jantung kehidupan sosial masyarakat adat.
🕊️ “Qanun Kemukiman Binanga: Adat Ditegakkan, Rakyat Didamaikan.”
🌾 “Musyawarah, Mufakat, dan Qanun: Tiga Hal Menuju Damai di Kemukiman Binanga,” ujar Tamrin menutup wawancaranya.
Empat Kesepakatan Adat di Kemukiman Binanga
Sebagai tindak lanjut penerapan Qanun Aceh Nomor Sembilan Tahun Dua Ribu Delapan, Mukim Binanga bersama seluruh kepala kampung telah menyepakati empat ketentuan adat utama:
-
Pencurian sawit satu tandan → Denda sebesar lima ratus ribu rupiah.
-
Tawuran atau mendatangi kampung lain dengan niat membuat kegaduhan → Denda satu ekor kerbau, emas delapan gram, dan uang sepuluh juta rupiah.
-
Menangkap ikan dengan cara menyetrum atau meracuni sungai → Denda menyediakan makan untuk seluruh warga kampung satu kali.
-
Berduaan di malam hari di tempat gelap dan sunyi →
-
Ditangkap dan diserahkan ke Wilayatul Hisbah (WH), atau
-
Dinikahkan di desa setempat, atau
-
Membayar denda adat dua puluh lima juta rupiah per orang.
-
Dengan penerapan aturan adat ini, Mukim Binanga berhasil menegaskan peran Qanun sebagai kompas moral dan sosial bagi masyarakat. Di bawah kepemimpinan Tamrin, adat tidak hanya dijaga — tetapi dihidupkan kembali sebagai jalan damai dan keadilan yang berpihak pada kehormatan bersama.
//@ntoni Tinendung






















