Subulussalam | Teropongbarat.co — Tawa dan kehangatan berbaur di udara sejuk Puncak Kapur, Sabtu (11 Oktober). Di Kafe Kedabuhen Jontor, aroma rempah menari bersama semangat perayaan. Pengunjung memadati kafe yang menggelar promo diskon dua puluh persen dalam rangka memperingati Hari Pelleng Nasional.
Namun, momen ini bukan sekadar pesta kuliner. Ia adalah perayaan identitas, penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat Pakpak yang tersebar di Pakpak Bharat, Subulussalam, Dairi (Sidikalang), Aceh Singkil, hingga Humbang Hasundutan.
“Kita ingin Hari Pelleng menjadi ruang ekspresi budaya yang membanggakan. Kafe kami ikut berpartisipasi memberi diskon dua puluh persen bagi pengunjung dari tanggal sepuluh sampai tiga belas November dua ribu dua puluh lima,” ujar Rahman Manik, pengelola Kafe Kayu Kapur Kedabuhen Jontor, kepada awak media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah tokoh Kota Subulussalam hadir dalam suasana hangat itu. Di antaranya H. Affan Alfian Bintang, Buyung Tinambunen, serta beberapa tokoh perempuan kota yang tampak antusias mencicipi hidangan Pelleng — nasi rempah pedas khas Pakpak yang bukan hanya menggoyang lidah, tetapi juga membangkitkan kenangan dan kebanggaan akan akar budaya.
Pelleng, Api yang Menghangatkan Jiwa
Pelleng adalah makanan tradisional masyarakat adat Pakpak Dairi. Nasi ini dimasak dengan campuran rempah seperti lada hitam, asam cikala, jahe, kunyit, bawang, dan serai. Biasanya disajikan bersama daging ayam kampung dalam berbagai acara adat, pesta kerja tahun, hingga penyambutan tamu kehormatan.
Dalam bahasa Pakpak, kata pelleng berarti “panas” atau “menghangatkan”. Arti itu mencerminkan jiwanya — membangkitkan semangat, menguatkan tubuh, dan memanaskan tekad perjuangan. Sejak masa lampau, Pelleng menjadi simbol kekuatan bagi para petani, prajurit, dan pemimpin adat. Ia adalah makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menghidupkan roh keberanian.
Setiap bahan di dalamnya memiliki makna tersendiri. Lada hitam dipercaya meningkatkan metabolisme dan daya tahan tubuh. Jahe menghangatkan serta melancarkan pencernaan. Kunyit menyehatkan hati dan melawan radang. Serai menurunkan kolesterol dan melindungi tubuh dari mikroba. Daging ayam kampung memberi kekuatan otot dan darah, sementara beras lokal menjadi sumber tenaga yang menjaga stamina.
Pelleng bukan sekadar makanan pesta. Ia adalah ramuan energi rakyat, semacam mantra yang ditanak di tungku dapur, menjadi bahan bakar bagi tubuh dan jiwa.
Filosofi dan Kearifan Lokal
Dalam adat Pakpak, Pelleng memiliki tiga makna utama yang dijaga turun-temurun. Pertama, ia adalah simbol semangat dan kekuatan. Dihidangkan sebelum seseorang bekerja keras atau berperang, sebagai bentuk pemanasan jasmani dan rohani. Kedua, ia menjadi lambang kesatuan. Pelleng dimasak bersama-sama dalam acara kerja tahun atau pesta panen, melambangkan gotong royong dan solidaritas kampung. Ketiga, ia berfungsi sebagai ritual penghormatan, disajikan bagi tamu kehormatan atau tokoh berjasa sebagai bentuk penghargaan tertinggi masyarakat adat.
“Pelleng bukan sekadar makanan, tapi doa yang dimasak,” ujar seorang tetua adat di Kedabuhen Jontor dengan senyum penuh kebanggaan. Ucapan itu seolah menjadi inti dari filosofi kuliner ini — bahwa setiap butir nasi dan tetes rempah adalah doa bagi kehidupan yang kuat dan penuh syukur.
Jejak Historis dan Makna Nasional
Dalam lintasan sejarah, Pelleng pernah menjadi hidangan perjuangan. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Pakpak di pegunungan Dairi menyiapkan Pelleng bagi para pejuang kemerdekaan. Saat itu, ia bukan hanya makanan, melainkan simbol api semangat perlawanan yang mengalir di dada para pemberani.
Kini, Pelleng diakui sebagai salah satu kuliner etnografis Nusantara, sejajar dengan Rendang Minangkabau dan Naniura Batak Toba. Ia mencerminkan keragaman rempah Indonesia, yang sejak abad ke-15 telah menjadi jantung diplomasi dan identitas bangsa di mata dunia.
Bahkan, Pelleng pernah dinobatkan sebagai makanan tradisional terunik nasional dalam ajang festival kuliner di Jakarta. Pengakuan itu menegaskan bahwa rasa pedas-rempah dari Sumatera bukan sekadar cita rasa lidah, tetapi kisah panjang tentang budaya, daya tahan, dan kemerdekaan rasa Nusantara.
Pesan Pelestarian dan Harapan
Hari Pelleng Nasional kini menjadi momentum penting untuk menumbuhkan kebanggaan etnik Pakpak dalam pelukan kebinekaan Indonesia. Ia diharapkan mampu menjadikan Pelleng sebagai ikon wisata kuliner Sumatera–Aceh, sekaligus menghidupkan kembali kearifan lokal tentang kesehatan dan kekuatan rempah Nusantara.
“Pelleng adalah identitas yang harus terus dirayakan. Dari dapur Pakpak untuk meja makan Indonesia,” tutur Rahman Manik sambil tersenyum di tengah kepulan wangi rempah yang mengepul dari dapur kafenya, seolah mengirimkan pesan hangat ke seluruh penjuru negeri: bahwa dari sepiring nasi dan rempah, lahir semangat untuk mencintai Indonesia dari akar tradisinya.
🖋️ Reporter: Anton Tinendung






















