
Penulis : Dinda Rosanti Salsa Bela, S.IP., M.I.P (Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi)
Opini||Memasuki era pemerintahan baru pasca Pemilu 2024, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga sosial dan ekonomi. Di tengah optimisme masyarakat terhadap perubahan yang dijanjikan, muncul gelombang kritik yang cukup masif dari kalangan mahasiswa melalui aksi-aksi yang dikenal dengan sebutan “Indonesia Gelap.” Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sebuah refleksi mendalam atas kondisi bangsa yang dirasakan belum sepenuhnya adil dan merata. Mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial kembali menegaskan peran pentingnya dalam demokrasi Indonesia, sekaligus mengingatkan bahwa suara kritis mereka adalah cermin dari harapan dan kegelisahan masyarakat luas.
Aksi Indonesia Gelap: Suara Kritis Mahasiswa
Aksi Indonesia Gelap yang berlangsung di berbagai kota besar menunjukkan betapa vitalnya peran mahasiswa dalam menjaga dinamika demokrasi. Meski pemerintahan baru membawa harapan akan perbaikan, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Isu-isu seperti pemangkasan anggaran pendidikan dan sosial, ketimpangan ekonomi yang kian melebar, hingga persoalan kebebasan berpendapat yang masih kerap dibatasi, menjadi pemicu utama dari gelombang protes ini. Mahasiswa tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga menegaskan bahwa demokrasi harus berjalan dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat. Dalam konteks ini, kritik mahasiswa bukanlah bentuk perlawanan tanpa arah, melainkan suara konstruktif yang ingin mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan aspirasi rakyat kecil.
Salah satu hal yang menarik perhatian penulis dari aksi Indonesia Gelap adalah simbolisme yang digunakan, yakni kegelapan sebagai metafora kondisi bangsa yang dianggap suram dan penuh ketidakpastian. Ini bukan hanya soal kegelapan literal, tetapi lebih kepada kegelapan dalam hal keadilan sosial, transparansi pemerintahan, dan kesejahteraan rakyat. Mahasiswa mengajak seluruh elemen bangsa untuk melihat bahwa di balik kemegahan pembangunan dan janji-janji politik, masih ada banyak persoalan yang harus segera diselesaikan. Hal ini menjadi pengingat bagi pemerintah baru bahwa legitimasi kekuasaan harus dibangun di atas fondasi kepercayaan dan keadilan, bukan sekadar popularitas atau kemenangan elektoral semata.
Respons Pemerintah dan Pentingnya Dialog Terbuka
Lebih jauh, aksi mahasiswa ini juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana seharusnya peran mahasiswa dalam sistem politik dan pemerintahan modern. Di satu sisi, mahasiswa adalah generasi penerus yang harus dipersiapkan untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Di sisi lain, mereka adalah pengawal moral yang harus berani mengkritik dan mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak menyimpang dari tujuan negara. Dalam sejarah Indonesia, peran mahasiswa dalam mendorong reformasi dan perubahan sosial sudah sangat terbukti, mulai dari era Orde Baru hingga reformasi 1998. Aksi Indonesia Gelap adalah kelanjutan dari tradisi tersebut, yang menunjukkan bahwa semangat kritis dan idealisme mahasiswa tetap hidup dan relevan di era sekarang.
Namun, kritik mahasiswa juga harus direspons dengan bijak dan konstruktif oleh pemerintah dan masyarakat luas. Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dan transparan, sehingga aspirasi mahasiswa tidak hanya didengar tetapi juga diakomodasi dalam kebijakan yang nyata. Penolakan terhadap kritik yang muncul dengan cara represif hanya akan memperburuk situasi dan menimbulkan ketegangan sosial yang tidak perlu. Sebaliknya, pemerintah yang responsif akan mampu mengubah kritik menjadi peluang untuk memperbaiki diri dan memperkuat legitimasi kekuasaannya. Di sinilah pentingnya budaya demokrasi yang sehat, di mana perbedaan pendapat dihargai sebagai bagian dari proses pembangunan bangsa.
Selain itu, masyarakat juga harus memahami bahwa suara mahasiswa adalah bagian dari mekanisme check and balance dalam demokrasi. Kritik yang disuarakan bukan untuk menjatuhkan pemerintah, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat banyak, terutama kelompok yang selama ini kurang mendapat perhatian. Masyarakat perlu mendukung peran aktif mahasiswa agar suara-suara kritis ini tidak hilang ditelan arus politik pragmatisme dan kepentingan sesaat. Dengan demikian, demokrasi Indonesia akan semakin kuat dan inklusif, mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Refleksi Dari Aksi Demonstrasi
Aksi Indonesia Gelap juga mengingatkan kita pada pentingnya pendidikan politik yang lebih baik bagi generasi muda. Mahasiswa tidak hanya harus kritis, tetapi juga harus cerdas dan berwawasan luas agar kritik yang disampaikan berbasis data dan analisis yang mendalam. Pendidikan politik yang berkualitas akan menghasilkan kader-kader bangsa yang mampu memberikan solusi konstruktif, bukan sekadar protes tanpa arah. Pemerintah, akademisi, dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama untuk memperkuat literasi politik dan demokrasi di kalangan mahasiswa, sehingga peran mereka sebagai agen perubahan dapat berjalan optimal dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, penulis melihat bahswa suara mahasiswa melalui aksi Indonesia Gelap adalah cermin dari dinamika demokrasi yang sehat dan hidup di Indonesia. Pemerintahan baru harus mampu menyikapi kritik ini dengan kepala dingin dan hati terbuka, menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan. Mahasiswa, di sisi lain, harus terus mempertahankan semangat kritis dan idealismenya, tetapi juga mengedepankan dialog dan solusi yang konstruktif. Dengan sinergi yang baik antara pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat, Indonesia dapat melangkah lebi mantap menuju masa depan yang lebih adil, makmur, dan demokratis.