Blangkejeren – Sorotan terhadap aktivitas eksplorasi PT Gayo Mineral Resources (PT GMR) di Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, semakin tajam. Indikasi terbaru menunjukkan bahwa kegiatan perusahaan tambang tersebut telah melewati batas wilayah eksplorasi yang seharusnya, bahkan diduga kuat telah memasuki kawasan hutan lindung yang berada di bawah perlindungan undang-undang.
Informasi ini muncul setelah sejumlah titik kegiatan PT GMR di lapangan ditemukan berada pada koordinat yang tumpang tindih dengan peta hutan lindung berdasarkan data tutupan lahan dan peta tematik kehutanan nasional. Namun, hingga kini belum ada penjelasan resmi dari pihak perusahaan maupun pemerintah terkait validitas batas wilayah eksplorasi dan legalitas kegiatan di zona yang dilindungi.
Abdiansyah, Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, dalam keterangannya pada Jumat, 20 Juni 2025, menegaskan bahwa aktivitas yang melampaui batas izin merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap ketentuan dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi. Lebih dari itu, jika kegiatan dilakukan di kawasan hutan lindung tanpa mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kehutanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sampai hari ini tidak ada peta resmi yang disampaikan ke publik terkait batas wilayah eksplorasi PT GMR. Tapi temuan lapangan menunjukkan mereka sudah masuk zona hutan lindung. Ini bukan pelanggaran kecil, ini kejahatan kehutanan,” ujar Abdiansyah.
Ia merujuk pada Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara tegas melarang kegiatan eksploitasi maupun eksplorasi di kawasan hutan lindung tanpa izin dari pemerintah pusat. Selain itu, berdasarkan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan lindung harus melalui proses izin pinjam pakai yang ketat, dan wajib melalui penilaian dampak lingkungan yang disetujui KLHK.
“Pertanyaannya, apakah PT GMR punya izin pinjam pakai kawasan hutan dari KLHK? Kalau tidak ada, maka kegiatan mereka di kawasan lindung adalah ilegal dan bisa dipidana,” katanya lagi.
Ia juga mengkritik pemerintah daerah, khususnya Dinas ESDM Aceh dan Dinas Lingkungan Hidup, yang dinilai lamban merespons laporan masyarakat dan tidak melakukan verifikasi lapangan secara terbuka. Abdiansyah mendesak agar pemerintah segera mengirimkan tim gabungan yang melibatkan akademisi, ahli kehutanan, dan aparat hukum untuk memeriksa batas wilayah kerja PT GMR secara langsung menggunakan sistem informasi geospasial dan pemetaan drone.
“Ini bukan sekadar soal administrasi izin, ini soal menjaga kawasan lindung yang menjadi sumber air dan benteng terakhir ekosistem Leuser. Pemerintah tidak bisa membiarkan wilayah konservasi diacak-acak tanpa dasar hukum yang sah,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia juga menyoroti ketertutupan dokumen penting seperti UKL-UPL dan AMDAL perusahaan. Menurutnya, tanpa adanya transparansi informasi, sulit bagi masyarakat untuk menilai apakah perusahaan benar-benar menjalankan kegiatan eksplorasi sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Kalau dokumen lingkungan saja tidak bisa dibuka ke publik, bagaimana kita bisa percaya bahwa kegiatan mereka tidak merusak hutan? Ini alasan kuat mengapa evaluasi harus dilakukan, dan bila perlu izinnya dicabut,” tambah Abdiansyah.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi belum menerima tanggapan resmi dari pihak PT GMR terkait dugaan aktivitas di luar batas izin eksplorasi. Pihak Dinas ESDM dan DLH Aceh pun belum memberikan pernyataan terkait langkah pengawasan atau audit lapangan terhadap kegiatan yang dilaporkan publik.
Sementara itu, tekanan dari masyarakat dan lembaga lingkungan terus menguat agar dilakukan penindakan dan penghentian sementara terhadap seluruh aktivitas PT GMR sampai kejelasan batas wilayah eksplorasi dapat dibuktikan secara hukum. (TIM)