Kutacane – Kekecewaan mewarnai suara sejumlah jurnalis di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) terkait ketidakjelasan pembayaran anggaran media cetak dan iklan pemerintah daerah. Hingga pertengahan tahun 2025, belum ada kejelasan ihwal pencairan anggaran tersebut, yang dinilai menjadi bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlangsungan ekosistem media lokal.
Pada Senin, 14 Juli 2025, seorang jurnalis media cetak yang enggan disebutkan namanya menuturkan kepada wartawan bahwa kondisi ini telah berlangsung hampir dua tahun. Ia menyebut salah satu titik perhatian adalah bagian keuangan Sekretariat DPRK Aceh Tenggara, yang dinilainya mengalami stagnasi, bahkan “identik mati suri”.
“Sudah hampir dua tahun tidak ada tanda-tanda pembayaran dari lembaga itu. Kami berkali-kali menanyakan, tapi tidak pernah ada kejelasan. Bahkan pimpinan redaksi kami sudah beberapa kali mendapat sanksi dari kantor pusat karena anggaran tidak jalan,” ungkapnya dengan nada kecewa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, lebih dari sepuluh jurnalis di Aceh Tenggara telah menanyakan langsung ke lembaga terkait, namun tidak memperoleh jawaban pasti. Ketidakpastian ini tidak hanya berdampak pada media secara kelembagaan, tetapi juga terhadap nasib para jurnalis yang menggantungkan sebagian penghasilan mereka dari kerja sama media dengan pemerintah.
“Kami tadinya berharap dengan pemerintahan baru ada perbaikan, minimal perhatian terhadap media. Tapi sekarang yang ada justru kami seperti diabaikan, semuanya tidak jelas,” lanjutnya.
Masalah tidak berhenti pada satu titik. Di berbagai satuan kerja pemerintahan daerah lainnya pun, para jurnalis melaporkan situasi serupa. Tidak ada kejelasan mengenai pelunasan kerja sama iklan ataupun publikasi media. Logo pemerintahan yang semula digadang-gadang membawa perubahan dan transparansi, kini justru dinilai menjadi simbol kekecewaan.
“Kami memilih karena berharap, tapi yang kami dapat malah luka. Kalau begini terus, media lokal bisa mati pelan-pelan. Ini bukan hanya soal iklan, ini soal keberlangsungan informasi publik di daerah,” tambah narasumber tersebut.
Upaya konfirmasi kepada Bupati Aceh Tenggara, menurut jurnalis itu, sudah berulang kali dilakukan. Namun setiap usaha komunikasi yang dilakukan, baik melalui jalur resmi maupun informal, tidak membuahkan hasil riil.
Sementara itu, bagian keuangan Sekretariat DPRK Aceh Tenggara ketika dikonfirmasi oleh media ini, justru memberikan respons yang mengejutkan. Seorang petugas keuangan disebut melarang awak media untuk kembali datang melakukan konfirmasi.
“Kalau mau masuk ke sini, jangan lagi. Kami tidak terima media,” ucapnya sebagaimana ditirukan oleh narasumber.
Kepala Keuangan Aceh Tenggara, Syukur Karo-Karo, saat dihubungi melalui pesan singkat WhatsApp, menjawab singkat bahwa saat ini tidak ada dana yang tersedia untuk pembayaran media.
“Uangnya nggak ada. Kalau ada pun itu dipakai dulu untuk dana desa,” tulis Syukur sebagaimana disampaikan ulang oleh jurnalis yang bersangkutan.
Ketidakjelasan ini semakin memperburuk relasi antara media lokal dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Di tengah semangat demokratisasi dan keterbukaan informasi publik, jurnalis berharap adanya pembenahan struktural, termasuk penghargaan yang layak terhadap kerja-kerja jurnalistik yang telah mendukung program-program pemerintah di daerah.
Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Bupati Aceh Tenggara maupun pimpinan DPRK Aceh Tenggara terkait persoalan tersebut. (Sadikin)