SAMPANG – TEROPONG BARAT _ Penangkapan terhadap sejumlah demonstran oleh jajaran polres Sampang terus mendapat sorotan bahkan kecaman dari berbagai kalangan aktivis di kota Bahari tersebut.
Kali ini, seorang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Izet Alfian Fatahillah turut memberikan komentar atas tindakan yang dilakukan oleh jajaran polres Sampang yang melakukan penangkapan terhadap aksi massa pada 28 Oktober 2025 lalu.
Izzet menyayangkan adanya penangkapan terhadap para pendemo. Menurutnya, Polres Sampang seharusnya mengedepankan Restorative Justice. Izzet juga mengingatkan bahwa penegakan hukum seharusnya tidak menambah kegaduhan di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami mendorong Polres Sampang agar mengedepankan nilai-nilai keadilan restorative. Jangan sampai penegakan hukum justru menambah luka sosial di tengah masyarakat,” Ungkapnya kepada awak Media, Kamis (6/11/2025).
Pemuda yang juga Presiden Mahasiswa di Universitas Negeri Madura itu menambahkan bahwa, penerapan pasal 363 KUHP terhadap perusak fasilitas umum (Fasum) saat demo pilkades terlalu berlebihan.
Aktivis muda tersebut menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan seperti mau memberikan efek jera terhadap masyarakat yang mau melakukan unjuk rasa atau menyampaikan aspirasi.
“Penetapan pasal 363 pda pelaku perusak fasum demo pilkades terlalu berlebihan, dampaknya akan melebar bahkan terkesan mengarah agar tidak ada lagi aksi demo dikemudian hari,”
Meski demikian, Izzet menegaskan bahwa penegakan hukum atas tindakan-tindakan kriminal yang dapat menyebabkan kerugian adalah langkah yang tepat. Namun, kata dia, hal itu harus dilakukan secara proporsional dan tidak dijadikan alat kriminalisasi untuk membungkam kritik dari masyarakat.
“Penerapan sanksi pidana terhadap perusakan fasilitas umum (fasum) selama demonstrasi adalah hal yang mutlak diperlukan untuk menjaga ketertiban sosial dan memastikan pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan. Namun, penggunaan pasal-pasal pidana, seperti Pasal 363 KUHP (Pencurian dengan Pemberatan) atau bahkan Pasal 170 KUHP (Kekerasan Bersama), secara berlebihan dan tanpa mempertimbangkan konteks yang tepat, berpotensi menjadi kriminalisasi yang tidak proporsional,” Paparnya.
Terpisah, Ahmad Dahlan ketua umum Gen Z kabupaten Sampang mendesak Kapolres setempat untuk melakukan evaluasi terhadap jajarannya dalam melakukan pengamanan terhadap para pelaku unjuk rasa.
Aktivis PMII yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua cabang itu menilai bahwa, tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian mencerminkan lemahnya penegakan kedisiplinan di internal institusi Tribrata tersebut.
“Aparat kepolisian juga harus melakukan evaluasi internal dan memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melanggar kode etik anggota,” Tuturnya.
Ahmad Dahlan berharap agar kapolres Sampang bersikap netral didalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Katanya, kericuhan yang terjadi saat demonstrasi perihal pilkades itu akibat kepolisian yang tiba-tiba menembakkan gas air mata. Padahal, biasanya, polisi terlebih dahulu menggunakan water canon sebelum menembakkan gas air mata.
“Seharusnya, kepolisian terutama kapolres bersikap netral. Karena, terjadinya aksi ini ada sabab musababnya. Bahkan, kericuhan itu terjadi setelah polisi menembakkan gas air mata kepada demonstran, kenapa tidak menggunakan water canon dulu,”




















































