Kutacane – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gempita mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tenggara untuk bersikap transparan, adil, dan tidak tebang pilih dalam penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Jembatan Silayakh. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua LSM Gempita, Junaidi SP, yang menyoroti bahwa hingga saat ini masih diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proyek bermasalah tersebut, namun belum tersentuh oleh penegakan hukum.
Menurut Junaidi, meskipun Kejari Aceh Tenggara telah menetapkan beberapa tersangka dalam kasus ini, termasuk salah satu pejabat pelaksana kegiatan (PPK) dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) berinisial YF, serta pihak pelaksana dari CV berinisial AK yang disebut-sebut menyerahkan pekerjaan tersebut kepada rekanan ketiga berinisial AA, namun berkembang informasi bahwa ada nama-nama lain yang seharusnya juga dimintai pertanggungjawaban hukum oleh kejaksaan. Hal ini diperkuat oleh sejarah panjang permasalahan dalam proyek pembangunan Jembatan Silayakh yang menurut Junaidi telah bermasalah sejak awal proses lelang, termasuk pelelangan tanah hingga pembelian material besi yang bahkan disebut-sebut hilang dalam jumlah besar.
Ia juga menegaskan bahwa dalam catatan historis proyek tersebut, sempat ada pihak yang sebelumnya ditangkap namun dibebaskan kembali oleh aparat penegak hukum di masa kepemimpinan kepala dinas sebelumnya. Lantaran itu, pihaknya merasa perlu mengawal penuh proses hukum kasus ini agar tidak terulang peristiwa yang sama, yakni “tangkap-lepas” tanpa ada kejelasan tindak lanjut hukum bagi mereka yang terlibat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Junaidi menyebut bahwa dalam waktu dekat pihaknya secara resmi akan mengirimkan surat kepada Kejari Aceh Tenggara untuk meminta klarifikasi dan mendesak dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap semua pihak yang diduga ikut terlibat. Ia mempertanyakan mengapa dalam struktur pelaksanaan proyek sebesar ini, hanya PPK yang dijerat hukum, sementara nama lain dalam susunan tim pelaksana, seperti PA (Pengguna Anggaran) dan tim teknis lainnya tidak ikut diperiksa lebih dalam. Bagi Gempita, ini menunjukkan indikasi kuat adanya praktik hukum yang tidak berimbang dan terkesan dipilih-pilih pihak-pihak tertentu.
Lebih jauh, aktivis Gempita itu menyinggung pelaksanaan proyek yang dilakukan oleh AA, yang disebut-sebut membeli pekerjaan dari perusahaan induk pelaksana. Bahkan, ia menyatakan bahwa informasi yang mereka himpun menyebutkan adanya aliran dana perusahaan ke rekening pribadi AA yang semestinya bisa menjadi petunjuk penting dalam penelusuran uang hasil korupsi. Namun, anehnya, pihak kejaksaan justru tidak menetapkan AA sebagai tersangka tambahan, padahal dugaan keterlibatannya cukup kuat baik secara administrasi maupun teknis. Oleh karena itu, LSM Gempita menyoroti apakah keputusan tersebut berdasarkan prosedur hukum yang adil atau justru bentuk pembiaran yang disengaja untuk melindungi pihak-pihak tertentu.
Sorotan juga diarahkan pada hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), termasuk pengembalian kerugian keuangan negara yang menurut PPK dilaporkan telah dikembalikan senilai Rp1,6 miliar, serta tambahan pengembalian baru sebesar Rp600 juta terkait temuan berikutnya. Meski begitu, kata Junaidi, hingga kini belum ada kejelasan mengenai bukti pengembalian dari AA yang disebut-sebut sudah melakukan pengembalian sebagian dana. Namun, keterangan tersebut menurut Gempita belum diikuti dengan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam pengamatannya, konstruksi kasus ini seperti menyimpan banyak teka-teki. Junaidi menilai, terjadinya kelebihan anggaran dari hasil rekayasa dokumen teknis yang disebut sebagai kekeliruan staf dalam memeriksa Rencana Kerja Anggaran (RKA), semestinya menjadi bagian dari penyidikan yang lebih luas. Apalagi, jika dikaitkan dengan potensi kelalaian atau kesengajaan dalam pengambilan keputusan anggaran yang pada akhirnya merugikan negara.
Akhirnya, aktivis Gempita itu menekankan perlunya ketegasan dari Kejari Aceh Tenggara agar tidak tebang pilih, adil, jujur, dan transparan dalam penetapan tersangka dalam kasus jembatan bermasalah tersebut. Ia berharap seluruh pihak yang paling bertanggung jawab — baik dari kalangan pejabat pemerintah maupun pelaku usaha rekanan — bisa diusut hingga tuntas tanpa ada yang dibiarkan lolos dari jerat hukum. Baginya, prinsip keadilan tidak cukup hanya ditegakkan terhadap satu dua orang saja, melainkan harus menyeluruh untuk memutus mata rantai korupsi proyek pemerintah di Aceh Tenggara, demi masa depan pembangunan yang bersih dan akuntabel. (SADIKIN)






















