Aceh- subulusalam teropong barat. Co Masih segar ingatan. Kita semua tahu kisah Ponggok, desa termiskin yang menjelma menjadi salah satu desa terkaya di Indonesia. Bayangkan, pendapatannya melonjak dari Rp 80 juta per tahun menjadi Rp 14 miliar! Rahasianya? Kepala Desa Junaedi Mulyono dan warganya menggali potensi desa semaksimal mungkin, baik sumber daya manusia maupun alamnya. Mereka kompak, memanfaatkan potensi lokal dengan cerdas. Wisata Umbul Ponggok, awalnya hanya mata air biasa, kini jadi primadona. Pengelolaan profesional dan inovasi menjadi kunci sukses mereka.
Lalu, bagaimana dengan Subulussalam, kota yang kaya akan sumber daya alam? Perkebunan sawit yang luas, tanah subur, air berlimpah, dan lokasi strategis di Aceh Barat-Selatan… semuanya seakan tertidur. Kita punya potensi melimpah, tapi “pasir” kita masih tetap “pasir”. Kenapa? padahal daerah Kita Punya Banyak Daun Kratom
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jangan-jangan, kita terlalu sibuk dengan program siluman “titipan dana desa” yang nilainya fantastis, mencapai 9 miliar lebih! Sebagaimana yang disebut kepala desa Bukit Alim. Program pelatihan 4 hari di Medan seharga 2,4 miliar? Ada yang salah di sini. Aroma korupsi begitu menyengat. Ini bukan pembangunan, ini perampokan! Hak otonomi desa dirampas, potensi desa diabaikan demi kepentingan segelintir oknum.
Kota Subulussalam melahirkan banyak sarjana dan akademisi. Kenapa mereka tak turun tangan membangun kampung halaman sendiri? Kenapa kita tak bisa bekerja dengan tulus, jujur, dan fokus pada potensi lokal? Kenapa kita lebih suka berpolitik transaksional daripada membangun kesejahteraan bersama masyarakat?
Desa Ponggok membuktikan, perubahan itu mungkin. Hanya butuh niat tulus, kerja keras, dan kejujuran. 82 Desa di Kota Subulussalam, kapan kita akan belajar dari Desa Ponggok? Kapan “pasir” kita akan berubah menjadi “mutiara”? Kapan Daun Kratom DAS Lae Shoraya seharga Emas. Jangan sampai, sejarah mencatat kita sebagai generasi yang gagal memanfaatkan Anugerah Allah.//Anton Tinendung