Sultan Daulat Subulussalam, TeropongBarat.co | Babak baru telah dimulai dalam sejarah pengelolaan lingkungan di Kota Subulussalam. Setelah bertahun-tahun dugaan pencemaran yang menyisakan kegelisahan di tengah masyarakat pesisir, kini kebenaran tak lagi bisa disangkal. PT Mandiri Sawit Bersama (MSB) II, perusahaan pengolah minyak kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Sultan Daulat, akhirnya secara eksplisit mengakui telah mencemari Sungai Lae Rikit melalui pembuangan air lindi dari unit produksi mereka.
Pengakuan ini bukan sebatas pernyataan lisan, melainkan tertuang dalam dokumen resmi kesepakatan yang ditandatangani langsung oleh Manajer PT MSB II, Sunardi, bersama perwakilan masyarakat Dusun Rikit, tokoh adat, aparatur desa, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Subulussalam, Abdul Rahman Ali, yang turut hadir sebagai saksi sah negara. Tanggal 18 Juni 2025 menjadi tonggak awal, saat sistem yang sebelumnya permisif terhadap limbah industri mulai diperhadapkan pada regulasi dan tanggung jawab konkret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun ironisnya, di hadapan media, Sunardi masih berusaha menafsirkan ulang fakta tersebut. “Kami tidak mencemari lingkungan. Surat itu bagian dari program sosial kami dan dibuat atas permintaan masyarakat,” kilahnya pada Jumat, 20 Juni 2025, di depan kantor manajemen PT MSB II.
Regulasi Alam yang Dibayar dengan Harga Sosial
Kesepakatan ini memuat lima poin penting—yang pada dasarnya adalah bentuk kompensasi atas kerusakan ekologis yang sudah terjadi:
1. Pemenuhan Air Bersih – PT MSB II berjanji akan menyediakan air bersih melalui sumur bor dan jaringan perpipaan bagi warga Dusun Rikit. Pengerjaan akan dimulai dan ditargetkan rampung bulan Juni 2025.
2. Ganti Rugi Alat Tangkap dan Mata Pencaharian – Perusahaan akan mendata dan mengganti kerugian para nelayan yang alat tangkapnya terdampak pencemaran.
3. Rehabilitasi Ekosistem Ikan – Sebanyak 20.000 bibit ikan lokal akan ditebar kembali ke Sungai Lae Rikit, sebagai bentuk pemulihan ekosistem yang rusak.
4. Sanksi dan Penegakan Hukum – PT MSB II menyatakan kesediaannya untuk dikenai sanksi hukum jika mengulangi perbuatan pencemaran lingkungan di masa depan.
5. Waktu Pemulihan – Proses pemulihan lingkungan diberi batas waktu selama 15 hari, mulai 18 Juni hingga 3 Juli 2025.
Efek Regulasi: Babak Baru Penegakan Hukum Lingkungan?
Dengan adanya pengakuan eksplisit ini, PT MSB II secara tidak langsung membuka pintu bagi penegakan hukum lingkungan secara lebih tegas di Kota Subulussalam. Menurut sejumlah aktivis lingkungan, perjanjian ini bukan sekadar urusan “sosial”, melainkan dapat dijadikan precedent hukum untuk menjerat pelaku industri lain yang bermain-main dengan limbah.
“Kesepakatan ini harus dipantau dan ditindaklanjuti. Jika mereka gagal melaksanakan poin-poinnya, masyarakat berhak menuntut secara hukum. Negara tidak boleh diam,” tegas Muhammad Joni, Ketua Ikatan Pemuda Sultan Daulat, yang turut menandatangani berita acara tersebut.
Masa Depan Sungai Rikit: Rehabilitasi atau Retorika?
Sungai Lae Rikit telah menjadi saksi bisu atas pertarungan panjang antara kepentingan industri dan hak-hak ekologis warga. Hari ini, pengakuan resmi dari PT MSB II menjadi sinyal kuat: bahwa pencemaran bukan lagi isu yang bisa disapu di bawah karpet negosiasi informal.
Namun apakah pemulihan akan sungguh terjadi? Atau ini hanya menjadi upaya mengulur waktu di tengah desakan publik?
Juli 2025 akan menjadi penentu. Apakah Sungai Lae Rikit akan kembali mengalir jernih—atau terus membawa jejak kelam industrialisasi tanpa pengawasan?
Yang pasti, hari ini, regulasi mulai hidup. Dan masa depan lingkungan Kota Subulussalam sedang ditulis kembali. Bukan di meja rapat, tapi di arus sungai yang selama ini menangis diam. (*)