SUMBAWA, NTB – Di tengah bisingnya klaim transparansi dan antikorupsi, realitas pahit kembali menghantam kebebasan pers dan ruang demokrasi di Sumbawa.
Aby Risal, seorang jurnalis sekaligus pegiat sosial, kini harus menghadapi jerat hukum sebagai tersangka di balik jeruji besi, bukan karena terbukti bersalah, melainkan karena berani menyuarakan dugaan penyimpangan dalam proyek jalan dan jembatan strategis SAMOTA senilai Rp131,9 miliar.
Kasus ini bukan sekadar kriminalisasi biasa. Ini adalah pukulan telak bagi siapa pun yang berani mengusik “zona nyaman” proyek-proyek jumbo negara. Aby Risal, melalui unggahan Facebook pada 1 Juni 2024, hanya melontarkan dugaan penggunaan material ilegal—batu dan pasir—yang kabarnya diambil dari lokasi tak berizin, milik inisial “S” dan “J”. Tidak ada nama lengkap, tidak ada alamat spesifik, bahkan secara eksplisit ia menggunakan kata “dugaan” sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, bagi Polres Sumbawa, ini sudah cukup untuk menyeretnya ke pusaran hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal Karet dan Logika Hukum yang Terbalik: Siapa Sebenarnya yang Dilindungi?
Polres Sumbawa, dengan sigap, menetapkan Aby sebagai tersangka dengan tuduhan berlapis:
* Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (4) UU ITE
* Pasal 310 dan 311 KUHP (Pencemaran nama baik & fitnah)
* Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 (Penyebaran berita bohong)
Panggilan pemeriksaan pun telah dilayangkan, menuntut Aby hadir pada Jumat, 25 Juli 2025. Sebuah ironi yang menyesakkan. Saat dugaan penyimpangan proyek miliaran rupiah dibiarkan menguap, justru suara kontrol sosial yang digebuk habis-habisan.
Imam, seorang Advokat Senior asal Sumbawa dan kuasa hukum Aby Risal, tak habis pikir. “Mens rea-nya tidak ada. Tidak ada niat jahat. Status itu murni dugaan yang bahkan dia (Aby) sendiri tidak bisa pastikan,” tegas Imam kepada Wartawan.
Ia menekankan bahwa jika hanya sebatas dugaan, maka tidak bisa dipidana. “Justru seharusnya polisi menjadikan informasi itu sebagai dasar penyelidikan atas proyek tersebut, bukan malah menyeret si penduga ke pidana,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Imam menyoroti absurditas pelaporan delik aduan pencemaran nama baik yang tidak memiliki subjek hukum jelas. “Siapa yang merasa tercemar? Kan nggak ada nama disebut. Kalau pakai inisial, lalu siapa pun berinisial ‘S’ dan ‘J’ bisa mengaku tersinggung? Itu tidak masuk akal dalam hukum. Tidak ada legal standing untuk melapor,” tandas Imam, membongkar kelemahan penetapan tersangka ini.
Ancaman terhadap Kontrol Sosial dan Kematian Demokrasi
Kriminalisasi Aby Risal adalah cerminan mengerikan dari apa yang terjadi ketika kekuasaan dihadapkan pada kritik.
Ini menambah daftar panjang praktik pembungkaman dengan menggunakan “pasal karet” yang multitafsir. Jika setiap dugaan, apalagi yang didasarkan pada informasi publik dan diungkapkan dengan kehati-hatian, bisa berujung pada jeruji besi, maka fungsi kontrol sosial akan lumpuh total.
“Logika hukumnya dibalik. Orang yang menduga malah diseret, sementara proyek yang diduga bermasalah dibiarkan,” kritik pedas seorang aktivis antikorupsi di NTB, menggambarkan betapa pincangnya penegakan hukum ini.
Imam bahkan melontarkan peringatan keras: “Jangan-jangan sebentar lagi rakyat harus bisu total, karena kalau menduga saja bisa masuk penjara, maka tidak ada lagi ruang demokrasi.”
Kasus Aby Risal bukan hanya tentang seorang jurnalis. Ini adalah ujian bagi keadilan dan keberanian kita semua. Ini adalah pertanyaan krusial bagi publik:
Siapa yang seharusnya diperiksa—pengungkap dugaan penyimpangan, atau proyek miliaran rupiah yang diduga menyimpang? Jawabannya akan menentukan arah kebebasan berpendapat dan masa depan demokrasi di negeri ini.[]






















