
Opini-JAMBI||Teropongbarat.com.Belakangan ini, penghapusan tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang saat ini berubah menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) telah menjadi topik hangat yang menuai banyak perhatian. Keputusan yang ini diambil dengan alasan tidak adanya anggaran, telah menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan masyarakat terutama akademisi. Meskipun penghapusan ini belum sepenuhnya terlaksana, dampaknya sudah terasa dan menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan kesejahteraan dosen serta kualitas pendidikan di Indonesia. 13/Januari/2025
Salah satu alasan utama di balik penghapusan tukin adalah perubahan nomenklatur kementerian yang berdampak pada alokasi anggaran. Kemendikbudristek menyatakan bahwa tidak ada anggaran untuk tunjangan kinerja dan tunjangan profesi dosen pada tahun 2025. Hal ini jelas menciptakan ketidakpastian bagi para dosen yang selama ini mengandalkan tunjangan tersebut sebagai bagian dari penghasilan mereka. Tunjangan kinerja bukan hanya sekadar insentif finansial tapi juga merupakan pengakuan atas kontribusi dosen dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian. Dengan penghapusan ini, pemerintah seolah-olah meremehkan peran penting dosen dalam mencetak generasi penerus bangsa.
Lucunya, keputusan untuk menghapus tukin ini datang meskipun tunjangan tersebut belum pernah terlaksana sama sekali. Sebagian besar dosen belum pernah merasakan manfaat dari tukin karena kebijakan ini belum pernah diterapkan secara efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sesuatu yang belum pernah ada bisa dihapus? Situasi ini menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak hanya mengabaikan kesejahteraan dosen, tetapi juga tidak memiliki rencana yang jelas untuk meningkatkan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Ini seperti menghapus sesuatu yang tidak pernah ada dalam daftar belanja sebuah tindakan yang tampaknya lebih bersifat simbolis daripada substantif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghapusan tukin juga dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap dosen Aparatur Sipil Negara (ASN). Banyak dosen ASN merasa didiskriminasi karena mereka tidak mendapatkan tunjangan kinerja seperti pegawai lainnya di kementerian tersebut. Ketidakadilan ini menciptakan kesenjangan dalam sistem remunerasi di lingkungan pendidikan tinggi. Dosen yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa justru diperlakukan tidak adil, dan hal ini berpotensi menurunkan motivasi mereka untuk memberikan yang terbaik bagi mahasiswa dan institusi.
Dampak dari penghapusan tunjangan kinerja ini tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi juga berpengaruh pada kesejahteraan mental dan profesionalisme dosen. Dalam situasi di mana banyak dosen sudah berjuang keras untuk mendapatkan hak-hak mereka, keputusan ini dapat mengurangi semangat kerja dan inovasi dalam pendidikan. Dosen yang merasa tidak dihargai cenderung kurang termotivasi untuk melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat yang berkualitas. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, yang seharusnya terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman.
Meskipun Kemendikbudristek telah berupaya untuk mengajukan anggaran tambahan sebesar Rp2,8 triliun kepada DPR dan Kementerian Keuangan, proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengajuan anggaran memerlukan waktu dan kerja sama antar lembaga yang sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa keberlangsungan pendidikan tinggi sangat bergantung pada dukungan finansial yang memadai bagi para pendidiknya.
Untuk merealisasikan tunjangan kinerja yang seharusnya menjadi hak dosen, diperlukan adanya Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pencairan tukin. Proses harmonisasi rancangan Perpres sedang berlangsung, namun belum ada kepastian kapan hal ini akan terwujud. Ketidakpastian ini semakin memperburuk situasi dan menambah rasa frustrasi di kalangan dosen. Oleh karena itu, keterlibatan semua stakeholder—mulai dari pemerintah hingga organisasi profesi sangat penting dalam menyuarakan hak-hak dosen dan mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan tunjangan kinerja.
Aksi simbolik seperti pengiriman karangan bunga ke kantor kementerian menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam dari para dosen terhadap keputusan ini. Ini adalah sinyal bahwa para akademisi tidak tinggal diam, mereka siap untuk memperjuangkan hak-hak mereka demi masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara para dosen dan mempertimbangkan kembali keputusan penghapusan tukin.
Kesimpulannya, penghapusan tunjangan kinerja bagi dosen ASN adalah langkah mundur yang berpotensi merugikan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Pemerintah perlu segera mencari solusi agar kesejahteraan dosen dapat terjamin dan kualitas pendidikan tetap terjaga. Tunjangan kinerja bukan hanya sekadar insentif finansial ia merupakan bentuk penghargaan atas dedikasi dan kontribusi dosen dalam mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, adalah tanggung jawab bersama pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk memastikan bahwa hak-hak dosen dihormati demi masa depan pendidikan yang lebih baik.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Pendidikan adalah fondasi bagi kemajuan suatu bangsa. Jika kita ingin melihat Indonesia maju dan bersaing di tingkat global, kita harus memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan pendidik kita. Dosen bukan hanya sekadar pengajar; mereka adalah peneliti, inovator, dan pembimbing bagi generasi muda kita. Tanpa dukungan yang memadai, kualitas pendidikan kita akan terancam.
Oleh karena itu, mari kita semua bersuara untuk mendukung hak-hak dosen dan memastikan bahwa mereka mendapatkan penghargaan yang layak atas kerja keras mereka. Kita perlu mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini demi masa depan pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.