Subulussalam, l Sengketa lahan antara PT Laot Bangko dan masyarakat di Subulussalam memasuki babak baru. Temuan Polda Aceh soal praktik mafia tanah dan “plasma siluman” dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 3.700 hektar menjadi sorotan. Dari luas tersebut, hanya 2.000 hektar yang bisa dikelola, sementara sisanya diduga telah diperjualbelikan secara ilegal.(14/06/2025).
Blokade jalan hari ini yang dilakukan masyarakat Jontor kecamatan penanggalan salah satu tindakan protes warga pada usaha PT Laut Bangko atas lahan lahan yang di kliem PT Laot Bangko saat membuat paret gajah pembatas. Namun, polemik ini tak sekadar soal hukum dan pidana. Di balik konflik agraria ini, tersimpan akar masalah yang lebih dalam: pengabaian hak-hak masyarakat adat Jontor di Kecamatan Penanggalan yang telah turun-temurun menguasai dan mengelola lahan tersebut jauh sebelum terbitnya HGU perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari Sekadar Pelanggaran Hukum
LSM Suara Putra Aceh sejak awal menjelaskan “Investigasi hukum memang penting, namun mengedepankan pendekatan hukum semata tanpa memahami konteks sosial-budaya justru bisa memperkeruh keadaan. Masyarakat adat dan tani bukan sekadar korban dari praktik mafia tanah, tetapi juga pihak yang hak-haknya terancam oleh lemahnya pengakuan terhadap kearifan lokal dan tanah ulayat.
Polda Aceh Serius, Tapi Dimana Mediasi?
Direktorat Kriminal Khusus Polda Aceh telah memeriksa berbagai pihak terkait penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang bermasalah. Dugaan pelanggaran terhadap UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan kini sedang didalami. Namun, hingga kini belum terlihat langkah serius untuk membuka ruang dialog yang setara antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
Pemerintah Kota Subulussalam Diuji Perannya
Terbongkarnya “plasma siluman” dengan keterlibatan nama-nama eks pejabat dan kerabatnya menandakan lemahnya tata kelola lahan dan minimnya transparansi dalam program kemitraan. Pemerintah Kota Subulussalam sebagai pemangku kebijakan dituntut hadir secara aktif, bukan hanya sebagai penonton. Kegagalan mengambil peran mediasi akan memperburuk konflik dan memperpanjang penderitaan masyarakat.
Jalan Damai Masih Terbuka
Sengketa ini tak bisa hanya diselesaikan lewat meja hijau. Upaya damai melalui mediasi dan konsiliasi harus diutamakan. Pemerintah daerah harus menjadi fasilitator dialog, memastikan bahwa setiap pihak, terutama masyarakat adat, mendapatkan ruang bicara dan keadilan.
Pelajaran Penting bagi Tata Kelola Lahan
Kasus PT Laot Bangko adalah cermin dari carut-marutnya pengelolaan lahan di banyak daerah. Ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan yang adil harus mengedepankan hak-hak masyarakat lokal. Penegakan hukum tetap penting, tetapi keadilan sosial hanya bisa dicapai jika pemerintah juga berani membuka ruang resolusi konflik yang damai dan inklusif.
#Catatan: Antoni Tinendung