teropongbarat.co.Subulussalam, Aceh l Sengketa lahan antara PT Laot Bangko dan masyarakat Subulussalam mencapai titik kritis. Polda Aceh menemukan indikasi kuat mafia tanah dan “plasma siluman” dalam HGU perusahaan seluas 3.700 hektar. PT Laot Bangko mengakui hanya mengelola 2.000 hektar, sisanya diduga telah dijual, dikuasai secara ilegal. Situasi ini diperparah oleh SK Walikota Subulussalam tahun 2024 yang merekomendasikan sertifikasi lahan melalui program PTSL, yang kemudian diterbitkan menjadi SHM oleh BPN. Pertanyaan muncul: apakah ini yang dimaksud sebagai “plasma” di lahan HGU PT Laot Bangko?
Hari ini, warga Jontor, Kecamatan Penanggalan, memblokade akses jalan menuju PT Laot Bangko sebagai protes atas klaim perusahaan terhadap lahan yang digunakan untuk pembuatan parit. (14/06). Namun, konflik ini lebih dari sekadar pelanggaran hukum. Pertanyaan kunci meliputi lokasi pasti lahan plasma, bukti kepemilikan lahan plasma (de facto dan de jure), nama-nama pemilik plasma, sosialisasi HGU kepada masyarakat adat Jontor dan kelompok tani, serta riwayat pembagian SHU (sisa hasil usaha) plasma pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berkat kerja cepat Camat Penanggalan, Kapolsek Penanggalan, dan tim Muspika, blokade jalan berhasil diatasi tanpa kekerasan. Namun, isu utama tetap ada: pengabaian hak-hak masyarakat adat Jontor yang telah mengelola lahan tersebut jauh sebelum HGU PT Laot Bangko diterbitkan.
Lebih dari Sekadar Pelanggaran Hukum
LSM Suara Putra Aceh menekankan pentingnya pendekatan holistik, yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga pada konteks sosial-budaya. Mereka melihat masyarakat adat Jontor sebagai korban, bukan hanya dari mafia tanah, tetapi juga dari lemahnya pengakuan terhadap kearifan lokal dan peran Kemukiman Penanggalan.
Polda Aceh: Investigasi Berjalan, Tapi Dialog Mana?
Polda Aceh telah memeriksa berbagai pihak terkait SKT yang bermasalah, menyelidiki dugaan pelanggaran UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun, upaya mediasi antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah kota masih minim.
Pemerintah Kota Subulussalam: Ujian Kepemimpinan
Terungkapnya “plasma siluman” yang melibatkan eks pejabat dan kerabatnya menunjukkan lemahnya tata kelola lahan dan transparansi. Pemerintah Kota Subulussalam harus berperan aktif sebagai fasilitator, bukan sekadar penonton.
Jalan Damai Masih Terbuka
Penyelesaian sengketa ini tidak bisa hanya melalui jalur hukum. Mediasi dan konsiliasi harus diutamakan. Pemerintah daerah harus menjamin keadilan dan ruang bicara bagi semua pihak, terutama masyarakat adat.
Pelajaran Berharga untuk Tata Kelola Lahan
Kasus ini menjadi cermin buruknya pengelolaan lahan di banyak daerah. Pembangunan yang adil harus memprioritaskan hak-hak masyarakat lokal. Penegakan hukum penting, tetapi keadilan sosial hanya tercapai dengan resolusi konflik yang damai dan inklusif.
#Catatan: Antoni Tinendung