Subulussalam-Aceh, teropongbarat.co. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Subulussalam (16/06) terkait dugaan pencemaran limbah PT MSB II berujung kisruh. RDP yang seharusnya menjadi forum mencari solusi, justru diwarnai saling tuding dan minimnya komitmen dari pihak perusahaan.
Ribuan kilogram ikan mati mendadak di DAS Kecamatan Runding dan Sultan Daulat, diduga akibat limbah pabrik kelapa sawit tersebut, telah melumpuhkan mata pencaharian ratusan nelayan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat Mukim Binanga.
Nelayan Menuntut Keadilan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat nelayan Desa Muara Batu Batu dan Dusun Bukit Namo Buaya mengalami kerugian besar. Mereka menuntut keadilan dan kompensasi yang layak atas matinya ikan yang diduga disebabkan oleh limbah PT MSB II. Kepala Mukim Binanga, Tamrin Bharat, dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) pada 9 Mei 2025, menyampaikan tuntutan tegas kepada PT MSB II, termasuk pembayaran ganti rugi adat (“Kegontakhan”), perbaikan habitat sungai, penebaran bibit ikan, dan rehabilitasi hutan lindung (RHL) di sepanjang DAS.
PT MSB II Bantah Tuduhan, Izin Masih Diurus
Humas PT MSB II, Agustizar, menampik keras tudingan tersebut, bahkan menyarankan uji laboratorium. Namun, keterangan mengenai kelengkapan izin perusahaan terkesan tidak transparan, dengan jawaban singkat “masih dalam pengurusan” ketika diminta menunjukkan dokumen legal. Ironisnya, Kepala Dinas Perizinan Satu Pintu dan Asisten I Kota Subulussalam, Lidin Padang, menyindir keras, menyatakan bahwa jika Pemko Subulussalam masih memiliki harga diri, operasional PT MSB II seharusnya dihentikan karena dokumen perizinannya sangat naif. DLHK Kota Subulussalam mengakui belum terpenuhinya izin lingkungan PT MSB II, namun belum mengambil tindakan tegas.
RDP yang Tak Berujung?
RDP di DPRK Subulussalam sendiri tampaknya tak menghasilkan solusi konkret. Tekanan publik terus menguat, dengan aktivis lingkungan dan tokoh adat yang menuding limbah pabrik sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan. Ketidakjelasan status izin dan bantahan dari pihak perusahaan semakin memperkeruh suasana.
Sorotan pada Pemerintah
Pertanyaan besar kini tertuju pada Pemko Subulussalam dan Forkopimda: apakah mereka berani menghadapi perusahaan yang diduga melanggar aturan, atau justru akan membiarkan kepentingan korporasi mengalahkan kepentingan masyarakat dan lingkungan? Kasus ini menjadi cermin urgensi reformasi pengawasan lingkungan dan ketegasan pemerintah dalam menindak pelanggaran hukum di Subulussalam. Nasib nelayan dan kelangsungan hidup masyarakat adat Mukim Binanga kini bergantung pada tindakan nyata, bukan hanya wacana dan rapat yang tak berujung.//tim inv. **