Subulussalam, teropongbarat.co – Konflik agraria kembali mencuat di Kota Subulussalam. PT SPT, salah satu perusahaan sawit besar di daerah ini, diduga melakukan ekspansi ilegal dengan menguasai kebun milik petani. Warga menyebut aksi tersebut sebagai “invasi sawit” yang mengancam ruang hidup mereka. (18/9/2025).
Di lapangan, lahan produktif masyarakat—mulai dari kebun sawit swadaya hingga ladang pangan—terancam hilang akibat klaim sepihak perusahaan. Petani mengaku tidak pernah menjual tanah mereka, namun tiba-tiba mendapati lahannya sudah dipatok masuk dalam areal kerja PT SPT (Sawit Panen Terus).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini tanah kami turun-temurun. Tiba-tiba sudah dikuasai perusahaan. Kami tidak pernah menjual atau menyerahkan,” ujar seorang petani dengan nada geram.
![]()
![]()
Dokumen Gelap, Mafia Tanah Diduga Terlibat
Praktik ilegal kian tercium lantaran dokumen pelepasan kawasan hutan maupun izin prinsip perusahaan tidak pernah transparan. Aktivis menduga ada mafia tanah yang bermain, bahkan disebut-sebut perusahaan ini mendapat beking pejabat berpengaruh.
Petani Hadang Alat Berat
Ketegangan memuncak di Kecamatan Sultan Daulat. Petani menghadang alat berat yang masuk ke kebun mereka, sementara perusahaan berdalih telah mengantongi legalitas.
Ketua Kelompok Tani Tuah Sepekat, Ishak, menuding PT SPT telah merampas 95 hektar lahan petani. Ia mendesak aparat segera mengusut penyerobotan lahan dan pengrusakan tanaman warga.
Perusahaan Ingin “Kekeluargaan”
Pihak PT SPT menyatakan persoalan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan menyarankan petani membuka lahan baru. Namun, tawaran itu dianggap penghinaan oleh warga.
“Lahan yang kami kuasai bertahun-tahun hilang, lalu disuruh buka tanah baru. Itu bukan solusi, itu perampasan,” tegas Ishak.
Pemda Soroti Mafia Tanah
Pemerintah Kota Subulussalam juga menyoroti masalah ini. Dalam RDP bersama ATR/BPN dan DPR-RI, Wali Kota HRB menuding PT SPT memanfaatkan sertifikat hasil redistribusi tanah dengan cara menyimpang. Ia mendesak pemerintah pusat membatalkan redistribusi lahan untuk PT SPT.
Selain PT SPT, HRB juga menyinggung kasus lain:
-
PT Laot Bangko diduga mencaplok 125 hektar lahan warga dalam perpanjangan HGU.
-
PT MSSB dilaporkan memasukkan dua desa administratif, Geruguh dan Kuala Keupeng, ke dalam konsesinya, sehingga warga kehilangan hak sertifikat.
“Konflik ini sudah lama dibiarkan. Rakyat jadi korban, perusahaan kebal aturan. Kami minta DPR-RI serius membela rakyat Subulussalam,” tegas HRB.
Subulussalam di Persimpangan
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah dan aparat hukum berpihak pada rakyat atau justru membiarkan mafia tanah menguasai ruang hidup masyarakat?
Subulussalam kini berada di persimpangan: menjaga kedaulatan tanah rakyat atau membiarkan korporasi raksasa merampas masa depan generasi tani.
Namun konflik makin pelik. Investigasi berdasarkan keterangan sumber internal PT SPT, berinisial Teppu, menyebut kelompok tani pimpinan Ramiddin alias Dagar telah menjual 200 hektar tanah kelompok. PT SPT mengklaim lahan 97 hektar yang disengketakan dengan Kelompok Tuah Sepekat berada di titik koordinat yang sama dengan lahan yang dibeli dari kelompok Dagar.
Situasi ini memperkeruh keadaan. Diduga kuat PT SPT memberi ruang anggaran pada salah satu kelompok tani untuk mengurus sertifikat hak milik (SHM), sehingga memicu bentrok antarpetani terhadap lahan masyarakat itu sendiri.
Laporan: @ntoni Tinendung, S.Kom.























