Subulussalam, teropongbarat.co. Di tengah deretan izin perkebunan yang terus meluas di Aceh, suara protes dari warga kembali menguat. Pola pelanggaran regulasi oleh sejumlah perusahaan perkebunan dinilai semakin terang-terangan: izin yang cacat prosedur, perluasan kebun tanpa dasar hukum, hingga kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanahnya.
Di Kota Subulussalam, persoalan ini mencapai titik krisis. Mantan pimpinan Kombatan GAM wilayah Aceh Singkil–Subulussalam, Ishak Aluas, angkat bicara. Ia menilai maraknya perusahaan yang mengantongi HGU bermasalah bukan sekadar kelalaian administrasi, melainkan buah dari sistem tata kelola yang lemah dan membiarkan masyarakat terjepit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak perusahaan melanggar regulasi. HGU-nya menyalahi prosedur, tetapi mereka tetap beroperasi dan menekan warga. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Ishak.
Dugaan pelanggaran itu tak hanya soal dokumen perizinan. Di lapangan, sejumlah perusahaan dituding melakukan ekspansi melebihi batas konsesi, merambah lahan ulayat, dan merebut area garapan masyarakat. Konflik pun tak terelakkan. Warga yang mencoba mempertahankan haknya justru berhadapan dengan intimidasi, laporan polisi, hingga kriminalisasi.
“Warga Aceh bukan musuh perusahaan. Tapi setiap kali masyarakat bersuara, justru yang muncul ancaman dan kasus hukum. Itu pola yang keji,” ujar Ishak.
Ia menyoroti pula peran lembaga yang seharusnya mengawasi, seperti BPN dan aparat penegak hukum. Menurutnya, banyaknya proses HGU yang cacat menandakan ada persoalan serius: mulai dari verifikasi lahan yang longgar hingga pengawasan yang tidak berjalan. Celah-celah itulah yang dimanfaatkan perusahaan untuk memperluas kepentingannya, sementara hak masyarakat terabaikan.
“Ketika aturan dipelintir demi kepentingan modal, rakyat jualah yang menjadi korban. Ini bukan sekadar sengketa, tetapi bentuk penindasan yang dibungkus legalitas,” kata Ishak.
Pernyataan keras itu selaras dengan temuan berbagai kelompok masyarakat sipil yang mencatat eskalasi konflik agraria di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Di Subulussalam saja, sejumlah perusahaan—termasuk yang disebut warga tidak memiliki izin lengkap—masih beroperasi, memanen keuntungan, dan memperluas pengaruh tanpa hambatan berarti.
“Masyarakat Aceh sudah terlalu lama menanggung beban akibat kesalahan tata kelola perkebunan. Jangan ulangi sejarah kelam itu,” tegas Ishak.
Di tengah kondisi ini, tuntutan warga semakin jelas: evaluasi menyeluruh, penegakan hukum nyata, dan pembenahan sistem perizinan yang selama ini dianggap hanya melayani pemodal. Tanpa itu, konflik dan ketidakadilan yang menahun akan terus menjadi luka terbuka di wilayah-wilayah perkebunan Aceh.//@nton tin.






















