Subulussalam, Polemik dugaan pencemaran lingkungan oleh PT MSB2 kian memanas. Dalam Musyawarah Forkopimda Kota Subulussalam yang digelar 9 Mei 2025 di ruang rapat Wali Kota, muncul dua isu krusial: dugaan pencemaran sungai oleh limbah pabrik dan ketidaklengkapan dokumen perizinan operasional perusahaan sawit raksasa tersebut.(10/05/2025)
Anehnya Humas PT MSB2, Agustizar, menampik keras tudingan. Ia menegaskan, “Untuk apa langsung memvonis limbah MSB2? Bisa saja ada masyarakat yang meracun, kita belum tahu.” Agustizar menyarankan agar dilakukan uji laboratorium untuk memastikan penyebab kematian massal ikan di Sungai perioritas warga nelayan itu.(sumber serambi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal saat rapat Pemko Subulussalam dan Forkopimdanya (09/05) Kepala Dinas Perizinan Satu Pintu dan Asisten I Kota Subulussalam, Lidin Padang, menyindir keras, “Apabila Pemko Subulussalam masih memiliki harga diri sebagai pemerintah yang sah, seharusnya kegiatan operasional PT MSB2 dihentikan. Dokumen perizinan mereka sangat naif.”
Lidin Padang Kepala Dinas Perijinan satu pintu Kota Subulussalam menjelaskan usai rapat Forkopimda bahwa “Kewajiban PMKS tersebut tersebar pada beberapa SKPK. Seperti, bagian pendapatan, Distanbun bidang plasma, Bappeda bidang CSR, Disnakertrans bidang ketenagakerjaan dan Sertipikasi Mesin lainnya. Sementara DlHK tentang lingkungan UKL atau Amdal dan kewajiban kolam limbah. Dari Dinas PU tentang FKKPR. Dinas perijinan ijin OP dan PBG Ijin Timbun BBM, UKM bagian tera Ulang Timbangan. Sementara Dinas perhubungan Ijin Angkutan dan kelas Jalan, serta merta ijin lainnya.
Senada dengan itu, DLHK Kota Subulussalam mengakui belum terpenuhinya izin lingkungan PT MSB2, namun tidak memberikan sikap tegas terhadap perusahaan yang beroperasi di Kampong Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat tersebut.
Tekanan publik terus menguat. Sejumlah aktivis lingkungan dan tokoh adat (kemukiman) menuding limbah pabrik PT MSB2 sebagai penyebab utama matinya ikan dan rusaknya ekosistem sungai. Namun hingga kini, perusahaan bersikeras tidak bertanggung jawab.
Keterangan mengenai kelengkapan izin pun dianggap tidak transparan. Ketika diminta menunjukkan dokumen legal, Agustizar hanya menjawab singkat, “Masih dalam pengurusan.”
Kini, sorotan tertuju pada Pemko dan Forkopimda: Apakah mereka berani menghadapi raksasa industri yang diduga melanggar aturan, atau justru tunduk dalam diam? Masyarakat menantikan langkah konkret, bukan sekadar rapat dan wacana.
Kasus ini menjadi cermin urgensi reformasi pengawasan lingkungan dan ketegasan pemerintah dalam menindak pelanggaran hukum. Akankah Subulussalam memilih keberpihakan pada lingkungan atau terus terperangkap dalam kepentingan korporasi?(*)Anton Tin