Perubahan Iklim dan Fenomena Cuaca Ekstrem yang Mengancam Ketahanan Daerah Oleh: Dinda Rosanti Salsa Bela, S.IP., M.I.P. Dosen Ilmu Pemerintahan

- Redaksi

Rabu, 26 November 2025 - 12:43 WIB

4030 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Opini~Teropongbarat.com||Perubahan iklim bukan lagi sebuah konsep abstrak yang hanya dibahas dalam forum ilmiah internasional. Kini, dampaknya sudah dapat kita rasakan secara nyata di berbagai daerah Indonesia. Cuaca yang tidak menentu, intensitas hujan yang ekstrem, gelombang panas, hingga bencana alam yang semakin sering terjadi membuktikan bahwa kita sedang menghadapi ancaman serius terhadap ketahanan daerah. Peristiwa erupsi dan banjir lahar dingin Gunung Semeru beberapa waktu lalu menjadi contoh paling nyata bagaimana perubahan iklim memperkuat risiko bencana yang sudah ada. Menurut saya, perubahan iklim membuat banyak daerah kita berada pada kondisi rawan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Indonesia berada di kawasan cincin api dan memiliki banyak gunung berapi aktif, namun perubahan pola cuaca membuat dinamika bencana menjadi semakin tidak terduga. Pada kasus Semeru, misalnya, intensitas hujan yang sangat tinggi mempercepat proses longsoran material vulkanik dan memicu banjir lahar dingin yang menghancurkan permukiman, jembatan, hingga infrastruktur vital dalam sekejap. Masyarakat di sekitar gunung biasanya sudah hidup berdampingan dengan potensi erupsi, tetapi mereka tidak sepenuhnya siap menghadapi kombinasi antara aktivitas vulkanik dan cuaca ekstrem yang datang secara bersamaan.
Kita perlu memahami bahwa perubahan iklim memperbesar risiko bukan hanya dengan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, tetapi juga dengan memperparah dampaknya. Intensitas hujan yang tinggi dapat memperlebar potensi banjir bandang, mempercepat erosi lereng gunung, dan memicu longsor di banyak tempat yang sebelumnya dianggap aman. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan daerah kini semakin kompleks dan membutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih adaptif. Fenomena seperti yang terjadi di Semeru mengingatkan kita bahwa kerangka penanggulangan bencana kita selama ini masih terlalu berfokus pada respons, bukan pencegahan. Setiap kali terjadi bencana, pemerintah bergerak cepat mengirim bantuan, membangun kembali permukiman, dan memulihkan infrastruktur. Tetapi langkah-langkah antisipatif sering kali tertinggal karena minimnya perencanaan jangka panjang, kurangnya pemetaan risiko yang akurat, dan belum meratanya kesiapan pemerintah daerah menghadapi situasi ekstrem. Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan lama yang bersifat reaktif sudah tidak memadai lagi.
Di banyak daerah, tata ruang belum sepenuhnya berbasis mitigasi bencana. Permukiman masih ditemukan di zona rawan, alih fungsi lahan terus terjadi, dan sistem drainase perkotaan belum mampu menampung intensitas hujan yang semakin ekstrem. Pada wilayah rawan seperti Lereng Semeru, tekanan ekonomi sering kali memaksa masyarakat tetap tinggal di zona berbahaya karena keterbatasan lahan alternatif. Dalam kondisi seperti ini, sedikit perubahan pola hujan saja dapat berujung pada tragedi yang memakan korban jiwa. Perubahan iklim juga menuntut penguatan kapasitas pemerintah daerah. Banyak daerah yang belum memiliki sistem peringatan dini yang modern, sementara koordinasi antarlembaga masih bergantung pada respons manual yang lambat. Padahal, cuaca ekstrem sering kali datang tiba-tiba dan tidak memberi ruang bagi pemerintah untuk menunda keputusan. Peningkatan kualitas kelembagaan, sistem informasi iklim, dan integrasi teknologi adalah kunci jika kita ingin memperkuat ketahanan daerah.
Selain itu, edukasi publik menjadi aspek yang sangat penting tetapi sering diabaikan. Masyarakat perlu dipahami bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam, tetapi interaksi antara kondisi alam dan kerentanan manusia. Pada kasus Semeru, misalnya, masyarakat mungkin sudah terbiasa dengan aktivitas gunung, tetapi belum tentu memiliki kesadaran yang sama terhadap bahaya lahar dingin yang sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Sosialisasi yang lebih intensif dan penggunaan teknologi informasi untuk monitoring mandiri bisa menjadi langkah untuk memperkuat kesiapsiagaan warga. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong praktik pembangunan yang lebih berkelanjutan. Penghijauan di daerah hulu, rehabilitasi lahan kritis, serta penguatan ruang terbuka hijau di kota-kota besar merupakan investasi jangka panjang yang mampu menurunkan risiko bencana hidrometeorologi. Adaptasi iklim bukan hanya tugas kementerian lingkungan hidup, tetapi tanggung jawab lintas sektor yang harus masuk dalam perencanaan pembangunan nasional maupun daerah.
Pada akhirnya, perubahan iklim tidak hanya mengubah cuaca, tetapi mengubah cara kita memahami risiko. Bencana Semeru adalah peringatan keras bahwa ketahanan daerah harus dibangun dengan pendekatan baru yang lebih ilmiah, terintegrasi, dan berorientasi pada pencegahan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pola lama yang hanya bergerak setelah bencana terjadi. Jika Indonesia ingin tetap tangguh di tengah ancaman perubahan iklim, maka penguatan sistem mitigasi, adaptasi, dan tata kelola risiko harus menjadi prioritas utama. Dengan langkah yang tepat, bencana seperti Semeru bukan hanya menjadi tragedi, tetapi juga momentum untuk memperbaiki sistem, memperkuat ketahanan daerah, dan memastikan bahwa perubahan iklim tidak menjadi ancaman permanen bagi masa depan kita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berita Terkait

Peduli Stunting, Babinsa Hadiri Bimbingan Teknis Pelaporan Konvergensi Stunting Berbasis Aplikasi
Patroli Gabungan Koramil 1426-02/Polsel dan Komponen Masyarakat Jaga Keamanan di Canrego
Pengukuhan Bun Wid Sebagai Korwil PKDI Madura Raya, Dihadiri Kepala Desa se Madura.
Rutan Pangkalan Brandan Gelar Pembukaan Magang Nasional, Tekankan Pengembangan Profesional Peserta
Ketua GPA Sultra Serahkan SK Bidang Sumber Daya Alam dan Mineral, Perkuat Struktur Organisasi
Personel Gabungan TNI, FKPPI, FKFM, Patroli Bersama Ciptakan Situasi Tetap Aman
Ketua PW GPA SULTRA Menyoroti Kepala Desa Morombo Pantai
Pemkab Pakpak Bharat Peringati Hari Guru 2025

Berita Terkait

Kamis, 27 November 2025 - 13:44 WIB

Program Oplah Berjalan Lancar, Babinsa Batu Karaeng Aktif Beri Pendampingan

Kamis, 27 November 2025 - 11:43 WIB

Pimpinan Pondok Pesantren Al Mansyur Ustadz Saharuddin Rasakan Manfaat Aplikasi Super App POLRI

Rabu, 26 November 2025 - 15:19 WIB

Kodim 1410/Bantaeng Ringankan Beban Keluarga Korban Kebakaran Dengan Baksos Penyerahan Sembako

Rabu, 26 November 2025 - 11:52 WIB

Sinergi Babinsa dan Pemerintah Desa Majukan Infrastruktur Pertanian

Selasa, 25 November 2025 - 13:33 WIB

Babinsa Bonto Tallasa Gelar Komsos Bahas Kebersihan dan Keamanan Lingkungan

Senin, 24 November 2025 - 13:40 WIB

Babinsa Baruga Gelar Komsos Bersama Pemerintah Desa dan Warga

Minggu, 23 November 2025 - 13:02 WIB

Aksi Peduli Babinsa: Bantu Angkut Pipa Air Bersih dan Pantau Keamanan Wilayah

Minggu, 23 November 2025 - 11:47 WIB

Sehari Setelah Menjabat, Wakapolres Bantaeng Kontrol Kondisi Ruang Sel Tahanan

Berita Terbaru