Ketika cita rasa menjadi perekat identitas, Pelleng bukan sekadar warisan kuliner — ia adalah narasi perjuangan, kesehatan, dan kebangsaan yang menghangatkan dari Pakpak untuk Indonesia.
Subulussalam, teropongbarat.co — Menjelang Hari Pelleng Nasional, 10 Oktober 2025, suasana di dataran tinggi Jontor, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, terasa berbeda. Aroma rempah khas Pelleng, makanan tradisional masyarakat adat Pakpak, menyeruak dari dapur Kafe Kayu Kapur Kedabuhen milik Rahman Manik, pengelola muda yang memadukan tradisi dan bisnis modern (8/10).
Dalam wawancara, Rahman mengumumkan promo spesial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mulai 11 sampai 13 Oktober, semua menu berbahan dasar Pelleng kami diskon 20 persen. Ini bagian kecil dari semangat Hari Pelleng Nasional untuk mengingatkan kita pada akar budaya Pakpak yang penuh makna,” ujarnya, Selasa (8/10/25).
Tak banyak yang tahu, Pelleng pernah dinobatkan sebagai Juara Nasional Festival Kuliner Nusantara di Jakarta tahun lalu. Para juri menilai citarasa rempahnya unik — menggambarkan perpaduan filosofi pedas, hangat, dan penuh energi — simbol karakter masyarakat adat Pakpak yang tangguh.
Kini, makanan ini dikenal luas di berbagai daerah seperti Pakpak Bharat, Sidikalang (Dairi), Aceh Singkil, Humbang Hasundutan, dan Kota Subulussalam. Dari kampung hingga kota, Pelleng menjadi pengikat identitas diaspora masyarakat adat Pakpak yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.
Pelleng adalah nasi berbumbu rempah panas seperti lada hitam, asam cikala, jahe, kunyit, bawang, dan serai, disajikan bersama daging ayam kampung. Dalam tradisi adat, hidangan ini disajikan pada acara kerja tahun (panen raya) atau penyambutan tamu kehormatan.
Namun kini, khasiatnya juga menarik perhatian dunia kesehatan. Kandungan jahe dan lada hitam dipercaya mampu meredakan gangguan lambung, meningkatkan metabolisme, serta memperkuat daya tahan tubuh. Sementara kunyit, serai, dan asam cikala dikenal sebagai antioksidan alami yang menyehatkan hati dan mencegah radang.
“Banyak pengunjung rutin datang ke kafe ini bukan hanya untuk makan, tapi untuk terapi alami. Mereka bilang, setelah makan Pelleng, tubuh terasa hangat dan pencernaan lebih lancar,” ujar Rahman sambil tersenyum.
Dalam sejarahnya, Pelleng bukan hanya makanan, melainkan ritual penghormatan dan simbol persaudaraan. Dahulu, para pakalima dan pejuang adat disuguhi Pelleng sebelum berangkat berperang. Rasa pedasnya dipercaya menjadi pemantik semangat juang dan keberanian.
Kini, filosofi itu hidup kembali. Setiap peringatan Hari Pelleng Nasional, masyarakat adat Pakpak di berbagai daerah menggelar acara serentak — dari Pakpak Bharat hingga Aceh Singkil — menandai kebangkitan rasa kebersamaan dalam bingkai nasionalisme.
Pelleng memiliki posisi istimewa dalam sejarah nasional. Ia menjadi warisan kuliner etnografis Nusantara, sejajar dengan rendang Minangkabau atau naniura Batak Toba. Lebih dari itu, Pelleng adalah bukti nyata kontribusi masyarakat adat dalam memperkaya identitas Indonesia — dari dapur tradisional hingga panggung kuliner dunia.
Pemerhati budaya, Dr. Berta Manalu, menegaskan, “Pelleng adalah jembatan rasa antara masa lalu dan masa depan. Ia mempersatukan masyarakat adat yang terpencar, memberi ruang untuk mengenal jati diri dalam cita rasa Nusantara.”
Hari Pelleng Nasional tahun ini diperkirakan menjadi momentum penting. Pemerintah daerah bersama komunitas adat Pakpak di berbagai kota tengah menyiapkan Festival Pelleng Nusantara, yang menampilkan lomba memasak, seminar budaya, dan pameran rempah lokal.
“Pelleng bukan hanya simbol makanan, tapi simbol peradaban. Ia mengajarkan bahwa dari rasa hangat bisa tumbuh persaudaraan,” tutup Rahman di Kafe Kayu Kapur yang mulai ramai menjelang sore.
Laporan Anton Steven Tinendung dari Kota Subulussalam