Subulussalam, teropongbarat.co — Ada yang mulai retak di antara harapan dan kenyataan. Warga Kota Subulussalam yang dahulu menaruh asa besar kepada H. Rasyid Benci (HRB), kini mulai bertanya-tanya: ke mana arah janji suci yang dulu diucapkan di hadapan publik — “Nol Defisit dalam Tiga Tahun”?
Satu tahun berlalu, dan angka justru berkata sebaliknya: defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) 2025 membengkak hingga Rp54 miliar. Angka yang bukan sekadar statistik fiskal, melainkan cermin dari rapuhnya komitmen politik dan moral seorang pemimpin terhadap amanah rakyatnya.
“Kami tidak membenci beliau. Kami hanya ingin mengingatkan. Karena kami juga yang memilih,” ujar seorang warga, lirih namun tegas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara itu datang bukan dari oposisi, melainkan dari hati nurani rakyat kecil yang dulu menaruh harapan di balik nama besar seorang Al-Alim — pemimpin yang diharapkan membawa keseimbangan antara iman dan kebijakan publik.
Kini, harapan itu terasa seperti janji di langit: indah diucap, tapi makin jauh digapai.
Ketika Politik Melupakan Nurani
Dalam pandangan banyak kalangan, meningkatnya defisit bukan semata soal angka atau salah kelola. Ia adalah cermin dari jiwa kepemimpinan — sejauh mana seorang wali kota mampu menahan diri dari godaan kekuasaan dan loyalitas semu para pembisik di sekelilingnya.
Sebab jabatan adalah ujian, bukan kemuliaan.
Dan ujian terbesar seorang pemimpin bukan pada pujian saat berkuasa, melainkan pada kesetiaan terhadap kebenaran ketika dihadapkan pada kepentingan.
“Lain perkataan, lain perbuatan — itulah tanda kemunafikan,” ujar warga lainnya, mengutip sabda Nabi sebagai pengingat moral bagi siapa pun yang memimpin negeri kecil di ujung barat Aceh ini.
Rakyat Boleh Mengingatkan
Dalam demokrasi, mengingatkan pemimpin bukanlah dosa. Ia adalah bentuk ibadah sosial — amar ma’ruf nahi munkar dalam bingkai konstitusi.
Kritik publik terhadap defisit APBK Subulussalam adalah bagian dari kewajiban moral masyarakat agar pemerintahan tidak buta arah di tengah jalan.
Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya kas daerah, tapi juga kepercayaan — mata uang paling berharga dalam politik.
“Wali kota kita orang berilmu. Semoga beliau tidak tergelincir dalam lingkaran kepentingan pejabat yang korup,” kata seorang tokoh masyarakat, seraya berharap pemimpinnya kembali ke jalan lurus yang dulu dijanjikan.
Akhir Kata: Amanah Bukan Slogan
Defisit bukan sekadar persoalan ekonomi. Ia adalah barometer kejujuran.
Setiap rupiah yang tidak seimbang adalah tanda ada yang meleset dari niat awal.
Dan rakyat berhak menuntut penjelasan, sebab mereka bukan penonton dalam panggung kekuasaan — mereka adalah pemilik sah kursi yang kini diduduki wali kota.
Semoga HRB mampu menjadikan kritik ini sebagai cermin, bukan cercaan.
Karena setiap pemimpin sejati tahu: kejujuran adalah kemewahan terakhir dalam politik.
Kritik adalah bentuk kasih sayang rakyat kepada pemimpinnya.
Pemimpin yang berjiwa besar tidak akan takut pada kritik, karena di sanalah letak cahaya yang menuntun langkah agar tidak tersesat dalam gelapnya kekuasaan.
//@.tin.**