Subulussalam, teropongbarat.co — Gelombang kritik terhadap lembaga-lembaga keistimewaan Aceh kembali menggema di Kota Subulussalam. Di tengah riuh isu rangkap jabatan di lingkungan pemerintah kota, publik kini menyorot lembaga-lembaga yang justru lahir dari semangat keistimewaan: Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Baitul Mal, dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Di bawah kepemimpinan Wali Kota H. Rasid Bancin (HRB), arah dan etika lembaga-lembaga itu kini mulai dipertanyakan. Sebab, di antara para pengurusnya, ditemukan sejumlah nama aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diduga merangkap jabatan, bahkan menerima dua sumber tunjangan negara sekaligus.
Bagi banyak pihak, persoalan ini bukan sekadar administratif — tetapi moral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Rangkap jabatan di lembaga keistimewaan itu sama saja menodai semangat UUPA. Di situ ada amanat keadilan dan kesempatan yang sama bagi putra-putri Aceh untuk mengabdi, bukan ruang bagi segelintir orang untuk menumpuk jabatan dan tunjangan,” ujar salah satu tokoh masyarakat Subulussalam kepada teropongbarat.co.

Larangan yang Sudah Jelas dalam Qanun
Qanun Aceh berbicara tegas. Dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2006 tentang Susunan dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Aceh, Pasal 12 ayat (1) menegaskan:
“Anggota lembaga keistimewaan Aceh diangkat berdasarkan profesionalitas dan tidak sedang memangku jabatan struktural atau jabatan lainnya yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.”
Larangan serupa juga tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, yang menyebutkan bahwa anggota badan tersebut tidak boleh berasal dari unsur ASN atau pejabat publik yang memiliki jabatan struktural di pemerintahan.
Sementara itu, Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang MPU bahkan menegaskan bahwa anggota MPU dilarang merangkap jabatan pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, atau lembaga lain yang dapat memengaruhi independensi keputusan.
Regulasi nasional pun sejalan. Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS melarang keras rangkap jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan.
Namun di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya.
Nama-Nama yang Disebut
Data yang dihimpun teropongbarat.co menunjukkan sejumlah nama di Kota Subulussalam yang diduga merangkap jabatan di lembaga keistimewaan.
Di Kecamatan Rundeng, ada Ust. Hasanuddin Jafsy (ASN) dan Ust. Asmala Finem (PPPK).
Di Simpang Kiri, muncul nama-nama seperti Ust. Jamhuri (ASN), Ust. Amansyah (ASN), Ust. Maksum LB (ASN), Ust. Rusyda (ASN), Ust. Rahmat Lubis (PPPK), dan Ust. Sarifuddin (PPPK).
Sementara di Penanggalan, Ust. Saleh Arifin (ASN) tercatat memegang dua posisi sekaligus.
Sebagian dari mereka bahkan baru saja dilantik sebagai PPPK, namun tetap menjabat di lembaga keistimewaan tingkat kecamatan.
Kepala BKPSDM Kota Subulussalam, Rano Saraan, saat dikonfirmasi, mengaku telah menaruh perhatian serius atas situasi ini.
“Terkait informasi bahwa ada beberapa anggota lembaga keistimewaan yang sekaligus lulus sebagai PPPK, akan kami pelajari dan berkoordinasi dengan pihak berkompeten. Jika memang aturan melarang, tentu akan kami laporkan ke pimpinan untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum,” tegas Rano.
Tumpulnya Pengawasan dan Lemahnya Baperjakat
Fenomena ini memperlihatkan lemahnya fungsi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) serta pengawasan oleh Inspektorat dan BKPSDM.
Tidak tampak langkah pembinaan atau koreksi administratif, padahal pelanggaran semacam ini bisa mengarah pada pelanggaran disiplin berat ASN.
Di sisi lain, rumor tentang adanya dua blok kekuatan di internal pemerintahan HRB — Blok Altum dan Blok Barat Selatan — menambah aroma politik dalam pengisian jabatan.
Perebutan pengaruh dan posisi strategis tampaknya lebih dominan daripada prinsip merit dan profesionalitas yang seharusnya menjadi fondasi reformasi birokrasi.
Mengembalikan Marwah Keistimewaan
Lembaga keistimewaan Aceh lahir bukan untuk menambah privilese bagi pejabat, melainkan untuk menjaga ruh moralitas dan keadilan dalam sistem pemerintahan Aceh pasca-UUPA 2006.
Rangkap jabatan bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mencederai semangat keistimewaan itu sendiri — semangat yang memberi ruang bagi putra-putri Aceh untuk tampil berdasarkan integritas dan kapasitas, bukan karena kedekatan dengan kekuasaan.
“Reformasi lembaga keistimewaan harus dimulai dari keberanian moral. Jika HRB ingin menjaga marwah keistimewaan Aceh di Subulussalam, maka bersihkan dulu lembaga itu dari praktik rangkap jabatan,” ujar pimpinan LSM Suara Putra Ajteh Kota Subulussalam.
Kini, publik menanti langkah nyata Wali Kota HRB.
Apakah ia akan berpihak pada regulasi dan semangat moral keistimewaan,
atau membiarkan sistem patronase yang menumpulkan nilai-nilai luhur Aceh terus berjalan di bawah namanya.
🟤 Laporan: Anton Steven Tin | Redaksi Teropong Barat



















































